Mengapa usulan Presiden Jokowi merekolasi warga Asmat 'mustahil' dilakukan?
Krisis kesehatan di Kabupaten Asmat, Papua, yang ditandai kematian lebih dari 65 anak akibat campak dan gizi buruk, memaksa pemerintah pusat untuk mencari jalan keluar dari persoalan tersebut.
Salah-satunya, seperti diusulkan Presiden Joko Widodo, agar warga Asmat di pedalaman -yang rawan dari penyakit campak dan gizik buruk- direlokasi ke ke wilayah yang lebih mudah dijangkau unit pelayanan kesehatan.
"Jadi (penduduk) desa-desa direlokasi ke kota (Agats, ibu kota Kabupaten Asmat)," ujar Jokowi di sela kunjungan kerja di Palembang, Senin (22/01).
Pemerintah daerah, menurut Presiden, mampu memfasilitasi relokasi penduduk di wilayah Asmat. Dan apabila mereka tidak mampu melakukannya, lanjut presiden, pemerintah pusat siap turun tangan.
Namun ide relokasi ini langsung ditolak oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Bupati Kabupaten Asmat, Elisa Kambu. Mereka menyampaikannya saat bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor, Selasa (23/01) malam.
Hak atas foto YAMIN MUHAMMAD/AFP"Memindahkan orang tidak segampang itu karena terkait budaya, adat istiadat, hak ulayat dan bagaimana mereka menanam dan sebagainya," tegas Elisa Kambu.
Dan pada Rabu (24/01) pagi, sebelum melakukan kunjungan kerja ke Sri Lanka, Presiden Jokowi menyatakan dirinya dapat memahami alasan penolakan relokasi warga Asmat.
"Ternyata tidak mungkin karena masalah tradisi, adat, hak ulayat," ujar Jokowi di Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Untuk itulah, Presiden mengatakan telah menginstruksikan kepada kementrian terkait untuk merampungkan infrastruktur jalan di wilayah Asmat agar lebih mudah dan cepat.
"Agar yang terisolasi ini bisa terbuka dan memulai tahapan kedua," kata Jokowi.
Sebagai solusi jangka panjang, Presiden kemudian memerintahkan Kementerian Pertanian untuk membangun lahan pertanian. Otoritas terkait juga diminta untuk melakukan pendekatan kepada warga Asmat agar mau divaksin.
Konsekuensi budayaSementara, pengamat dan peneliti dari Papua Resource Center, Amiruddin Al-Rahab, mengatakan, mayoritas masyarakat Papua yang tinggal di pedalaman "masih sangat terikat dengan tanah ulayat".
Tanah ulayat adalah tanah bersama warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak atas foto AFP"Nah, apabila mereka berpisah dengan tanah ulayat itu punya konsekuensi personal, konsekuensi ekonomi, dan konsekuensi budaya," kata Amiruddin yang juga dikenal sebagai anggota Komnas HAM, Rabu (24/01) kepada BBC Indonesia.
Menurutnya, kalau mereka dipindah ke tanah yang bukan hak ulayatnya, maka itu "bermasalah dalam kosmologi kebudayaannya".
Karena itulah, usulan relokasi warga Asmat ke tempat lain yang dianggap lebih memiliki akses ke unit kesehatan dianggap Amiruddin "agak gegabah".
"Karena resettlement seperti itu di Papua tidak banyak membuahkan hasil yang baik, karena itu dapat merusak kosmologi budaya masyarakatnya," katanya.
Hak atas foto AFPRelokasi, lanjutnya, bisa diterapkan kepada warga Papua yang sudah lama tinggal di perkotaan. "Tapi, sebagian besar masyarakat di Papua ini 'kan masih terikat pada tanah ulayat."
Di wilayah Asmat, menurutnya, karakteristik masyarakatnya tinggal terpencar dan terpencil di tengah-tengah hamparan luas rawah-rawah. "Mereka berpindah-pindah, tapi tetap di dalam wilayah adat mereka," paparnya.
Lagipula, sambungnya, di wilayah itulah mereka mengembangkan mata pencahariannya, yaitu meramu, bercocok tanam, atau menangkap ikan. "Kalau dipindah, maka kehidpan keseharian mereka bisa berubah sama sekali."
'Dokter terbang'Seharusnya, menurut Amiruddin, pemerintah menciptakan sarana untuk menjangkau masyarakat Asmat di wilayahnya masing-masing.
Hak atas foto Depkes.go.idDiakuinya, tantangan terberat di Asmat adalah bentang alamnya yang sangat luar biasa sehingga berimplikasi pada biaya ekonominya yang tidak murah.
Namun ini tidak berarti pemerintah kemudian tidak bertindak. Dia mengusulkan, untuk membuka akses dan pelayanan kesehatan, pemerintah bisa membuka sarana 'dokter terbang'
"Adakan dua atau tiga helikopter Puma yang sudah dimofikasi menjadi puskesmas terbang. Tinggal dicarikan helipad-helipad (pendaratan helikopter) yang bisa mendekati masyarakat," kata Amiruddin.
Atau, lanjutnya, pemerintah bisa mengadakan 'rumah sakit terapung' di wilayah Asmat yang dipenuhi sungai, danau dan rawah-rawah. "Memang biayanya mahal, tapi menurut saya ini yang bisa dibuat pemerintah."
Geograsi Asmat 'yang membatasi'Sementara, Kepala Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, Steven Langi, mengatakan, krisis kesehatan di wilayah Asmat yang ditandai kematian setidaknya 67 anak-anak akibat campak dan gizi buruk dilatari berbagai persoalan yang kompleks.
Hak atas foto AFP"Dan semua terakumulasi," ungkap Steven Langi kepada BBC Indonesia, Rabu (24/01). Menurutnya, selain geografi wilayah Asmat yang sulit, masalah ekonomi dan budaya masyarakat juga ikut berperan di dalam krisis kesehatan di Asmat.
"Kita memiliki medan yang sulit. Geografi (di wilayah Asmat) membatasi kita," katanya. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah Asmat didominasi wilayah rawah-rawah dan sebagian lainnya adalah hutan.
Kebiasaan berpindah yang dilakoni oleh sebagian besar penduduk Asmat, menurut Steven, juga menjadi kendala saat mereka melakukan penyisiran mencari warga yang terdampak campak atau gizi buruk.
"Ada wilayah yang sudah di-sweeping dua kali, toh ada pasien yang baru datang (ke rumah sakit di ibu kota kabupaten). Ternyata ada orang-orang yang tidak terdata," ungkapnya.
Belum lagi ada wilayah di Asmat yang belum terjamah jaringan telekomunikasi. "Kita terbatas, di hutan-hutan tidak ada sinyal."
Penyelesaian jangka panjangPersoalan lain yang tidak kalah peliknya adalah tingkat pemahaman masyarakat setempat yang berbeda-beda, sehingga memaksa otoritas kesehatan di wilayah itu mencoba belajar memahami pola pikir mereka, kata Steven.
Hak atas foto Kompas/Jhon Roy Purba"Kita tidak bisa bilang bahwa 'ini harus begini, harus begini'. Jadi, kita harus mengerti budayanya."
Bagaimanapun, sambungnya, untuk jangka pendek, otoritas kesehatan di Kabupaten Asmat saat ini berusaha menangani atau mengatasi warga yang masih sakit.
Setelah masalah ini teratasi, pihaknya akan melakukan stabilisasi yang kemudian disusul program pendampingan.
"Karena kalau masalah campak hampir selesai, tapi kalau gizi buruk harus longterm (jangka panjang) kita pikirkan," kata Steven.
Dia kemudian memberikan contoh, "Bantuan itu begitu banyak, tapi habisnya sampai tiga bulan. Nah, kita harus berpikir sembilan bulan kemudian mau makan apa. Itu yang jadi masalah."
"Jadi kita harus berpikir ke depannya, apa yang harus kita lakukan," tandasnya.
Post a Comment